Kisah jelas – Belakangan ini, sebuah video yang diunggah di media sosial Instagram oleh akun @semarangskyperject tengah menjadi perbincangan hangat. Video tersebut memperlihatkan suasana sebuah mal di Kota Semarang yang tampak sepi pengunjung selama dua bulan terakhir, yakni Juli dan Agustus. Dalam video tersebut memperlihatkan, tampak pengunjung hanya berjalan-jalan tanpa melakukan pembelian, dengan caption yang menyoroti penurunan aktivitas belanja:
“Pada sadar nggak, dua bulan ini mall-mall nggak seramai biasanya, masyarakat ke mal pun nggak belanja, cuma jalan-jalan.”
Caption ini turut menyebutkan bahwa daya beli masyarakat, khususnya dari kalangan kelas menengah, mengalami penurunan yang signifikan. Menurut akun tersebut, masyarakat semakin selektif dalam membelanjakan uangnya dan mulai mencari alternatif yang lebih murah.
Perbincangan Hangat, sebuah video viral tersebut juga menyebutkan adanya penurunan jumlah pengunjung di salah satu pusat perbelanjaan di Jalan Pemuda, Semarang. Biasanya, mal tersebut dikunjungi sekitar 15.000 hingga 18.000 pengunjung pada hari kerja, namun kini jumlahnya turun menjadi sekitar 10.000 hingga 12.000 pengunjung.
Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo), Budihardjo Iduansjah, memberikan penjelasan terkait fenomena ini. Menurutnya, penurunan pengunjung pada bulan Agustus bukanlah hal yang luar biasa. Ia menjelaskan bahwa Agustus seringkali merupakan bulan yang sepi bagi mal karena pengeluaran masyarakat umumnya telah habis setelah liburan sekolah dan bulan Ramadan.
“Bulan 8 itu di dalam jadwalnya retail tuh adalah bulan sepi setiap habis bulan 7,” kata Budihardjo. “Bulan 7 itu anak sekolah biasanya mulai masuk dan momen sehabis liburan. Pengeluaran banyak untuk anak liburan dan sekolah. Jadi mereka menahan beli itu biasanya di bulan 8,” tambahnya.
“Baca juga: Penurunan Kelas Menengah di Indonesia, Fakta dan Dampaknya”
Budihardjo juga mengomentari isu mengenai daya beli masyarakat. Ia berpendapat bahwa meskipun terlihat ada penurunan pengunjung, daya beli masyarakat tidak mengalami penurunan signifikan. Menurutnya, salah satu faktor utama yang mempengaruhi daya beli adalah keberadaan barang-barang impor ilegal yang dijual dengan harga sangat murah.
“Kalau untuk yang dimaksud daya beli itu untuk kalangan menengah bawah, kami melihat adalah ada faktor impor ilegal barang murah,” ujar Budihardjo. Ia menjelaskan bahwa barang-barang tersebut biasanya dijual oleh pelaku usaha dari luar negeri yang mengirimkan barang secara ilegal dan menjualnya melalui platform online dengan harga yang sangat kompetitif.
Budihardjo mengingatkan bahwa praktik penjualan barang impor ilegal ini dapat berdampak negatif bagi industri lokal. “Toko-toko kami yang menjual barang menengah ke bawah juga terpukul. Barang jualan kami juga terpukul,” ujarnya. Hal ini bisa berakibat pada penutupan pabrik dan toko lokal, serta mempengaruhi stabilitas ekonomi di sektor ritel.
“Simak juga: Mendorong Pertumbuhan Kelas Menengah Untuk Ekonomi”
Terkait penurunan pengunjung di mal Semarang, Budihardjo mencatat bahwa kebiasaan belanja masyarakat di kota ini memang memiliki kekhasan tersendiri. Ia menyebutkan bahwa warga Semarang seringkali lebih memilih berbelanja di pasar tradisional atau mengunjungi tempat-tempat selain mal.
“Setahu saya Semarang itu memang dari dulu unik pengunjungnya. Belanjanya suka ke pasar, tetapi mall juga tetep oke, enggak sampai jelek sekali. Kita juga ada toko di sana [kondisinya] bagus,” kata Budihardjo. Ia menambahkan bahwa tempat-tempat wisata seperti Kota Lama yang ramai dikunjungi orang untuk bersantai dan makan juga menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat Semarang.
Budihardjo menegaskan bahwa meskipun mal mungkin tidak selalu ramai seperti di kota besar lainnya seperti Jakarta, Semarang tetap memiliki potensi dan keunikan dalam pasar ritel dan pariwisata.
Perbincangan Hangat, dengan berbagai faktor yang mempengaruhi suasana mal dan daya beli masyarakat, jelas bahwa fenomena ini merupakan hasil dari kombinasi berbagai aspek, dari pola belanja musiman hingga dampak barang impor ilegal. Masyarakat dan pengusaha perlu terus beradaptasi untuk menghadapi perubahan ini demi menjaga keseimbangan dalam dunia perbelanjaan dan ekonomi lokal.